Entri Populer

Selasa, 06 Maret 2012

Tugas Akhir : Epistemologi


EPISTEMOLOGI





Tugas ini:
Diajukan kepada Bp.Yonas Muanley. M. Th
Sebagai Salah Satu Persyaratan Kelulusan Mata kuliah
Filsafat Ilmu




Oleh
Titi Selfia F. Daeli




SEKOLAH TINGGI TEOLOGIA IKSM SENTOSA ASIH
2 Maret 2012




Bab I
PENDAHULUAN


A.Pengertian Epistemologi
            Epistemologi sendiri pada intinya membicarakan tentang sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Secara Etimologi Epistemologi berasal dari bahasa Yunani. Terdiri dari dua kata yaitu “Epistem” yang berarti pengetahuan. Sedangkan “Logos” berarti Ilmu. Jadi, Epistemologi berarti ilmu yang mengkaji segala sesuatu tentang pengetahuan. Pengetahuan adalah apa yang dikenal atau hasil pekerjaan tahu.
J. F. Farrier pada tahun 1854 adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah Epistemologi. Karena pada saat itu banyak orang yang menyebutnya filsafat pengetahuan karena ia membicarakan tentang pengetahuan.
John Locke, filsuf yang amat berpengaruh setelah renaisans Eropa, menjadikan Epitemologi sebagai pangkal tolak dan pusat diskusi filsafatnya. Ia menganggap keliru untuk membicarakan metafisika sebelum menyelesaikan teori pengetahuan.
Ia memandang masalah-masalah Epistemologi harus mendahului masalah-masalah lain (Gazalba: 1991, hal 13) selanjutnya Gazalba menuliskan bahwa pengetahuan terdiri dari kesatuan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui.
 Jadi pengetahuan di sini harus mempunyai objek. Sementara itu sesuatu yang menjadi penentu munculnya pengetahuan dalam diri kita adalah kenyataan. Dengan demikian yang namanya pengetahuan adalah harus pasti.
Menurut Louis O. Katsouf  bahwa yang di maksud dengan mempunyai pengetahuan berarti mempunyai kepastian bahwa apa yang kita nyatakan dalam pernyataan tersebut sungguh benar. Dengan demikian, seseorang dikatakan mempunyai pengetahuan jika memang dia benar-benar mempunyai kepastian terhadap realitas dan sudah masuk pada wilayah kesadarannya.
Pengetahuan berbeda dengan pendapat.Pengetahuan ukurannya adalah kepastian dan harus disadari, maka tentu saja pengetahuan membutuhkan penalaran. Karena dalam konteks ini pengetahuan merupakan hasil kegiatan akal yang mengolah hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari indera dan ingatan (Katsouf; 2003).
Jadi, di sini awal mula peristiwa atau kenyataan yang menjadi sumber pengetahuan tidak harus jelas atau pasti, tetapi ketika itu sudah di olah menjadi sebuah pengetahuan maka statusnya harus pasti atau jelas.
            Sementara pendapat adalah hasil kesimpulan sementara atas peristiwa yang kita alami, baik dari penglihatan atau ingatan tertentu yang kita punyai. Bias jadi apa yang dilihat oleh mata kita adalah sesuatu yang menipu kita.
Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Gerakan epistemologi di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut Sophis, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan itu.Oleh karena itu, epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar.
Critica berasal dari kata Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan episteme sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya. Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.

B. Sejarah munculnya Epistemologi.
Epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno, ketika orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan Athena.
Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan kekuatan sebagai satu-satunya faktor. Athena mungkin dapat dipandang sebagai basisnya intelektualisme dan Spharta merupakan basisnya voluntarisme. Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis.
Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan epistemologi lebih lanjut, khususnya karena terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi dan pengetahuan manusiawi, pengetahuan supranatural dan pengetahuan rasional-natural-intelektual, antara iman dan akal.
Kaum agama di satu pihak mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan fides, sedang kaum intelektual mengemukakan bahwa iman adalah omong kosong kalau tidak terbuktikan oleh akal. Situasi ini menimbulkan tumbuhnya aliran Skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada masalah epistemologi, karena berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan pengetahuan dan ajaran manusiawi intelektual-rasional di lain pihak.
Pada fase inilah terjadi pertemuan dan sekaligus juga pergumulan antara Hellenisme dan Semitisme. Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik
Di lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, dan Positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan epistemologi tampaknya berjalan di dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, di mana lahir aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme.
Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia


C. Ruang Lingkup

Vauger menyatakan bahwa titik tolak penyelidikan epistemologi adalah situasi kita, yaitu kejadian. Kita sadar bahwa kita mempunyai pengetahuan lalu kita berusaha untuk memahami, menghayati dan pada saatnya kita harus memberikan pengetahuan dengan menerangkan dan mempertanggung jawabkan apakah pengetahuan kita benar dalam arti mempunyai isi dan arti.
Akal sehat dan cara mencoba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagi gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tidak mempunyai landasan lain untuk berpijak.
Tiap peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat. Randall dan Buchlar mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper, tahapan ini adalah penting dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin dan digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis.
 





Bab II
PANDANGAN-PANDANGAN TENTANG TEORI PENGETAHUANDI DALAM
EPISTEMOLOGI

Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.
Dari epistemologi, juga filsafat dalam hal ini filsafat modern terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, sepertirasionalisme,pragmatisme,positivisme, maupun eksistensialisme.
Pada bagian ini akan dikemukakan  pandangan yang beragam tentang teori pengetahuan. Masing-masing memiliki penilaian yang berbeda dan di anggap lebih tepat untuk mendefinisikan tentang pengetahuan itu sendiri.

A.Rasionalisme.
            Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan berasal dari rasio atau akal. Akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Artinya pengetahuan yang benar diperoleh dan di ukur dengan akal. Bapak aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan “Aku berpikir maka aku ada. Ia menolak tradisi abad pertengahan yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah wahyu Ilahi. Baginya, manusia dapat mencapai pengetahuan dengan rasionya, sekaligus menjadikannya pusat penyelidikan.


B. Empirisme.
            Kata ini berasal dari kata Yunani “Empirikos” yang berasal dari kata Empiria, artinya “Pengalaman”. Aliran ini menganggap bahwa sumber dan berlakunya pengetahuan ialah aspek empiri dari pengalaman (Gazalba: 1991, hal. 25).
 Tokoh-tokohnya banyak yang berasal dari daratan Inggris. Di antaranya adalah John Locke, Bapak empirisme Britania(1632-1704). Menurut Locke, akal hanyalah secarik kertas tanpa tulisan yang menerima hal-hal dari pengalaman.
Satu-satunya objek pengetahuan adalah gagasan yang timbul karena pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Maksud dari teori ini adalah bahwa ketika manusia lahir jiwanya sebenarnya kosong dan bersih, belum terisi oleh pengetahuan apapun. Lambat laun pengalamannya telah mengisi jiwanya yang kosong tersebut, kemudian seseorang tadi mempunyai pengetahuan.
Manusia tidak membawa ide bawaan, sumber pengetahuan adalah pengamatan yang menghasilkan kesan-kesan yang diterima langsung dari pengalaman, dan ide-ide yang merefleksikan atau menggambarkan kembali dari kesan-kesan itu (Ekky Al malaky: 2001, hal. 30)
C. Intuisionisme.
            Aliran ini menolak pengetahuan yang berdasarkan pemikiran, mengganggap hakikatnya tidak teliti dan tidak sehat. Tokoh aliran ini adalah henry Bergson (1859-1941).
Menurut Bergson objek-objek yang kita respon itu adalah objek yang selalu berubah. Sementara akal hanya bisa menangkap dan memahami secara penuh manakala ia mengkonsentrasikan dirinya pada objek itu.
Akal hanya mampu memahami bagian-bagian dari objek, kemudian bagian-bagian itu di gabungkan oleh akal. Itu tidak sama dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang objek itu.
            Jelasnya apa yang di tangkap oleh indera maupun akal adalah pengetahuan yang diskursif. Pengetahuan diskursif ini, menurut bergson, diperoleh melalui penggunaan symbol-simbol yang mencoba mengatakan pada kita mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu. Jadi ini tergantung dari perpektif atau sudut pandang yang kita miliki. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengetahuan yang benar-benar menyeluruh di butuhkan yang namanya intuisi (Katsouf:2004, hal.141). Intuisi inilah yang bisa menghasilkan pengetahuan yang menyeluruh dan komprehensif.
Intuisi merupakan pengetahuan yang di dapat tanpa melalui proses penalaran tertentu. Jadi pengetahuan yang diperoleh adalah langsung secara intuitif. Karena dengan pola yang demikian, maka pengetahuan yang diterima tidak berupa simbol-simbol atau pelukisan (Jujun S. Suriaswumantri: 2005, hal. 53).

D. Positifme.
            Dalam pandangan aliran ini, segala sesuatu harus dapat diverivikasi, harus jelas ukuran-ukuran yang logis dan rasional, dapat dibuktikan dan di uji secara ilmiah melalui observasi.
Tokohnya adalah August Comte (1798-1857). Ia berpendapat bahwa indera memang amat penting untuk memperoleh pengetahuan tapi harus dipertajam dan dikuatkan dengan alat bantu melalui eksperimen (Ekky Al malaky: 2001, hal.31).



E. Skeptisisme.
            Skeptisisme adalah paham yang mengingkari akan adanya pengetahuan yang sesungguhnya tentang adanya pengetahuan. Menurut Gazalba, paham ini dapat menyelesaikan masalah-masalah teori pengetahuan dengan mengingkari masalah-masalah itu sendiri.
Menurut aliran ini pada dasarnya tidak ada cara untuk mengetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Hal ini di dasarkan pada dua unsure yaitu Pertama, Kenisbian penginderaan; dan Kedua, adanya kesepakatan yang sesungguhnya mengenai apa yang merupakan halnya dan bukan halnya (Katsouf: 2004, Hal. 147).

F. Idealisme
            Aliran ini menyatakan bahwa yang ada sebenarnya adalah ide-ide. Berkeley mengatakan bahwa hanya ide cita kita saja yang nyata. Yang kita ketahui hanyalah bagaimana suatu objek itu kita tanggap, bukan objek itu sendiri. Karena itu kita tidak mungkin mengetahui bagaimana objek menurut dirinya sendiri (Gazalba: 1991, hal. 32-33).

G. Fenomenalisme
            Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan di terima oleh akal dalam bentuk-bentuk pengalaman dan di susun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu, kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang Sesutu seperti yang menampak kepada kita, artinya pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant, para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

Persoalan-persoalan Pokok dalam Epistemologi.
Pengetahuan: kakaguman sebagai awal munculnya epistemologi.
Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Ia begitu yakin mengenai hal itu sehingga dorongan untuk tahu ini tidak hanya disadari akan tetapi benar-benar diwujudkan dalam karyanya sendiri. Bukan tanpa alasan bahwa dia disebut “master” dari mereka yang tahu.
Menurut Socrates sebagai dua generasi sebelum Aristoteles berpendapat bahwa tidak ada manusia mempunyai pengetahuan, tetapi sementara orang-orang lain mengira bahwa mereka mempunyai pengetahuan. Socrates sendiri yang tahu bahwa ia tidak tahu.
Sedangkan menurut  Plato. Filsafat itu mulai dengan rasa kagum terhadap sesuatu yang canggih dan rumit, tetapi terhadap sesuatu yang sederhana, yang nampaknya jelas dipengalaman harian. Justru hal yang biasalah yang paling sulit dilukiskan. Dalam hal ini, terdapat pokok tertentu yang menjadi obyek epistemologi sendiri sebagai suatu menifes dari penyelidikan filosofis. Dalam pengertian ini, usaha Descrates benar-benar membuka suatu zaman yang sama sekali baru didalam sejarah pemikiran. Sebab usaha Descrates ini merintis tahap dimana kekakuman filosofis sendirilah yang dijadikan objek penelitiannya.





Bab III
Kesimpulan

Epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang seluk beluk pengetahuan, mulai dari pengertian, asal-usul, metode sampai pada sahnya kebenaran pengetahuan itu sendiri.  Dan terdapat banyak metode guna mencari pengetahuan, di antaranya, rasionalisme, empirisme, intuisme dan lain-lain. Epitemologi sangat diperlukan karena dari situlah pengetahuan manusia berasal.